Pandjikusmin lahir dari keluarga Islam. Nama Kusmin diambil dari nama
ayahnya saat kecil, sementara Pandji nama kakeknya dari pihak ibu.
Ayahnya menikah lagi dalam pengungsian pada 1945, di Malang. Sejak
berumur lima tahun, ia ikut ibu tiri. Ibu tirinya adalah seorang
Protestan. Ia disekolahkan di sekolah Kristen di Malang dan oleh ibunya
dan dididik sebagai Protestan.
Semasa sekolah dasarnya di Malang, ia sering tak naik kelas. Tingkah
lakunya bandel, sehingga ibu tirinya mengirim ke Asrama Katolik Boro di
Kulonprogo, Yogya. Selama tiga tahun dia diasuh oleh Pastor Harsosusanto
dan Bruder Themoteus. Di sinilah ia kemudian dibaptis menjadi seorang
Katolik. Setamat SD di Bruderan Boro, Kulonprogo, ia melanjutkan studi
ke SMP Kanisius Salatiga.
Tahun 1956, lulus dari SMP Kanisius, ia pergi ke Semarang. Di
Semarang, ia masuk SMA Protestan—yaitu SMA Masehi, tapi ia tetap
Katolik. Beberapa bulan kemudian, ayahnya, yang telah menetap di
Jakarta, menikah kembali. Ibu tirinya meninggal. Upacara pernikahan
secara Islam ini mengetuk hatinya. Penghulu dan doa-doa yang dibaca
membuat ia terkenang akan masa kecilnya. Sejak itu, Ki Pandjikusmin
memutuskan kembali masuk Islam. Ia meninggalkan SMA Masehi Semarang,
lalu akhirnya pindah ke Akademi Pelayaran Nasional. Selama enam tahun ia
menjalani wajib dinas di Jakarta.
Setelah heboh cerpen Langit Makin Mendung, Ki Pandjikusmin ternyata
masih mengirim naskah ke Horison. Pada 1970, ia mengirim cerpen berjudul
Petasan dalam Sampah. Naskah itu tidak dimuat karena tidak lolos
kriteria Taufik Ismail. “Kalau saya jadi redaktur Sastra, Langit Makin
Mendung pun tidak saya loloskan. Itu cerpen jelek. Metafora Ki
Pandjikusmin sangat sederhana dan kekanakan. Tuhan melayang di atas,
memakai kacamata seperti orang tua. Imajinya begitu miskin,” tutur
Taufiq kepada Dharmawan Sepriyossa dari TEMPO. Pada 20 Oktober 1971,
sang pengarang misterius mengirim cerpen berjudul Dia Tidak Tidur. Yang
ini dimuat di Horison edisi Desember 1972. Bila kita tilik alamat
suratnya, kini ia berpindah lagi, yaitu Jalan Perhutani I Jalan Rajawali
40 Surabaya. Jadi, semenjak 1967, berdasarkan surat-surat lusuh itu, Ki
Pandjikusmin tampaknya telah berpindah empat kali: Jakarta,
Probolinggo, Singapura, dan Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar